A.
Kemajuan Dunia Barat dalam Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Kemajuan yang telah dicapai bangsa-bangsa Barat pada periode ini
sebenarnya memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan peradaban dunia
Islam, baik ketika Islam mencapai puncak kemajuannya di Eropa maupun kemajuan
yang dicapai dunia Islam di Baghdad. Bangsa barat banyak berhutang budi pada
para ilmuwan muslim yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Spanyol (Andalusia) merupakan tempat yang paling utama bagi bangsa
barat dalam menyerap peradaban Islam baik dalam bentuk hubungan politik, sosial
maupun perekonomian dan peradaban antar bangsa. Bangsa barat menyaksikan
realitas bahwa ketika Andalusia berada di bawah kekuasan umat Islam, negeri ini
telah terlalu jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di Eropa., terutama
dalam bidang pemikiran dan sains di samping perkembangan dan kemajuan bangunan
fisik.
Dalam hal ini pemikiran Ibnu Rusyd atau Averros (1120 M-1198 M)
sangat berpengaruh di dunia Eropa. Pemikiran ini berhasil melepaskan belenggu
pemikiran taklid, dan mengkritik semua bentuk pemikiran yang tidak rasional
diantara ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam yang banyak dipelajari
ilmuwan Barat adalah ilmu kedokteran, ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Dari kerja keras dan tingginya kreativitas bangsa Barat dalam
mempelajari ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh umat Islam, menyebabkan
bangsa barat menemukan masa kemajuan dan kejayaannya.Setelah bangsa Barat menemukan masa kejayaannya, mereka ingin mengadakan
ekspedisi ke berbagai negara diluar Eropa. Mereka ingin membuktikan pendapat
dari GaliLeo Galilei yang menyatakan bahwa bumi ini bulat, yang berarti bahwa
jika terus menelusuri jalan ke barat, maka akan sampai ditempat semula.[1]
Oleh karena itu, banyak bangsa Eropa berlomba mencari wilayah baru
seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, dan sebagainya. Tujuan
mereka tidak hanya untuk membuktikan kebenaran teori itu, tetapi juga ada
sebagian mereka yang bertujuan mengambil alih kekuatan ekonomi umat Islam yang
saat itu menguasai perekonomian dunia.
Di awal periode modern, kondisi dunia Islam secara politis berada
di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke 20 M dunia Islam
mulai bangkit melepaskan negerinya dari imperialisme Barat.
Pada abad 20 M ini merupakan periode kebangkitan kembali Islam,
setelah mengalami kemunduran pada periode pertengahan. Pada periode ini mulai
bermunculan pemikiran modernisasi dalam Islam. Gerakan modernisasi tersebut
paling tidak muncul karena dua hal berikut. Pertama, timbulnya kesadaran di
kalangan ulama bahwa banyak ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran
Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang
sebenarnya seperti bid’ah, khufarat dan takhayul. Ajaran-ajaran inilah menurut
mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu mereka bangkit untuk
membersihkan Islam dari ajaran-ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini
dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi
dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan
tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Oleh karena itu mereka berusaha
bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban
untuk menciptakan balance of power.[2]
Ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran pada
abad ke 18 M, Eropa Barat mengalami kemajuan pesat. Kerajaan Safawi hancur di
awal abat ke 18 M, dan kerajaan Mughal (Mongol) hancur pada awal paruh ke dua
abad ke 19 M di tangan Inggris yang kemudian mengambil alih kekuasaan di anak
benua India. Adapun kekuatan Islam terakhir yang masih disegani oleh lawan
adalah kerajaan Usmani Turki. Akan tetapi yang terakhir ini pun Usmani dijuluki
sebagai The sick Man of Europe, orang sakit Eropa. Kelemahan
kerajaan-kerajaan Islam itu menyebabkan Eropa dapat menguasai dan menjajah
negeri-negeri Islam dengan mudah. Satu demi satu negeri-negeri Islam dapat
ditundukkan dan kemudian dijajah oleh bangsa Barat.[3]
B.
Kebangkitan Eropa
Bangsa-bangsa Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat pada
awal kebangkitannya. Di hadapan mereka masih terdapat kekuatan-kekuatan
angkatan perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan Usmani yang
berpusat di Turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus jalan yang
sebelumnya hanya dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak mereka.
Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha
menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi
kegelapan. Setelah Christopher Colombus menemukan benua Amerika (1492 M) dan
Vasco da Gama menemukan jalan timur melalui Cape Town (1498 M), benua Amerika
dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu,
sungguh tak terkirakan nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan
karena tidak lagi tergantung kepada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
L. Stoddard dalam The New Word of Islam menggembarkan
situasi ini dengan kata-kata demikian :
“Lalu dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan
raya, dan Eropa yang terpojok itu menjadi yang dipertuan di laut dan dengan
demikian yang dipertuan dunia. Terjadilah perputaran nasib yang maha hebat
dalam sejarah seluruh umat manusia. Kalau Eropa tadinya menghadapi kegagahan
dan ketangguhan Asia dengan putus asa, terhadap siapa saja kemenangan tak
mungkin tercapai dengan serangan langsung, sekarang orang Eropa dapat
memandangnya enteng.
Dalam bidang perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju
karena daerah-daerah baru terbuka baginya. Mereka dapat memperoleh kekayaan
yang tidak terhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Maka mulailah
kemajuan bangsa Barat menandingi kemajuan umat Islam yang telah sejak lama
memang berangsur-angsur mengalami kemunduran. Negeri-negeri Islam yang pertama
kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat
kekuasaan kerajaan Usmani.[4]
Dengan didukung oleh pertumbuhan
produksi pabrik dalam skala, dan perubahan yang besar serta dengan metode
komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta api, dan telegrap,
Eropa telah siap untuk melakukan Ekspansi perdagangan. Kesemuanya ini diiringi
dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari negara-negara besar Eropa.[5]
Negeri-negeri Islam yang jatuh pertama kali dibawah kekuasaan Eropa adalah
negeri yang jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Usmani (Islam di Asia Tenggara
dan Anak Benua India) karena kerajaan ini meskipun mengalami kemunduran, ia
masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan
militer Eropa waktu itu.[6]
C.
Imperalisme Barat terhadap dunia Islam
Kelemahan dan
kemunduran dunia Islam dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Barat untuk bangkit dan
bergerak menuju ke arah negara-negera Islam serta menguasai dan menjajahnya.
Motivasi mereka datang ke negara-negara Islam adalah motivasi ekonomi, politik
dan agama. Hal tersebut dapat terlihat dari cara-cara mereka datang untuk
pertama kali ke negara-negara Islam.
Pada saat yang sama Islam sedang terus dilanda kemunduran dan
kelemahan dalam berbagai bidang, sehingga negara-negara Islam tidak mampu
bersaing dengan bangsa barat yang didukung oleh kekuatan politik militer yang
tangguh. Saat itulah dunia Islam berada dalam kekuasaan hukum imperialisme Barat.
Oleh karena itu, kedua bangsa barat itu terus gencar melakukan
penjajahan terhadap negara-negara Islam dan berusaha menguasainya, sehingga
dengan mudah mereka dapat emnyebarkan agama Kristen. Kondisi seperti ini
didukung oleh semangat balas dendam yang disebut reqonquesta yaitu
semangat balas dendam bangsa-bangsa Barat terhadap Islam yang dulu pernah
menjajah mereka.
Satu demi satu negara-negara Islam akhirnya jatuh ke dalam
genggaman penjajahan bangsa-bangsa barat. Hanya beberapa negara yang tidak dijajah
oleh bangsa barat seperti kerajaan Turki Usmani dan Arab.
D.
Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Negeri-negeri
Islam
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang
membuat kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar
Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam ini, termasuk
daerah-daerah yang berada di Eropa timur.[7]
Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, kerajaan Usmani juga
menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat usaha-usaha pembaruan mulai
dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis,
untuk mempelajari suasana kemajuan di sana dari dekat.[8]
Celebi Mehmed diutus ke Paris tahun 1720 M dan diinstruksikan untuk
mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi
lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi
angkatan perang modern dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Laporan-laporan itu mendorong sultan Ahmad III (1703-1730 M) untuk memulai
pembaruan di kerajaannya. Pada masa kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer
dari Eropa untuk tujuan pembaruan militer dalam kerajaan Usmani. Pada tahun
1717 M, seorang perwira Perancis De Rochefort, datang ke Istambul dalam rangka
membentuk korp At-Then dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran
modern. Pada tahun 1729 M datang lagi Comte De Bonneval, juga dari Perancis,
untuk memberi latihan penggunaan meriam modern. Ia dibantu oleh Machaty dari
Irlandia Ramsay dari Skotlandia, dan Mornai dari Perancis. Pada tahun 1734 M,
untuk pertama kalinya sekolah Teknik Militer dibuka.[9]
Usaha pembaharuan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam
bidang-bidang yang lain pembaharuan juga dilaksanakan seperti pembukaan
pencetakan di Istanbul tahun 1727, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan.
Demikian juga penerjemah buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki dilakukan dalam
berbagai bidang untuk meraih kemajuan-kemajuan negara. Akan tetapi, walaupun
demikian, usaha-usaha pembaruan itu bukan hanya gagal menahan kemunduran
Kerjaan Turki Usmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak
membawa hasil yang diharapkan.
Penyebab kegagalan itu terutama adalah kelemahan raja-raja Usmani
karena wewenangnya sudah jauh menurun. Disamping itu keuangan negara terus
mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Usaha
pembaharuan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah penghalang pembaharuan
utama, yaitu tentara Yenisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II (1807-1839 M)
pada tahun 1826 M. Struktur kekuasaan kerajaan dirombak, lembaga-lembaga modern
pendidikan didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan dalam bahasa Turki,
siswa-siswa Barat dikirim ke Eropa untuk belajar dan yang terpenting sekali
adalah sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan.[10] Akan
tetapi meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil gerakan pembaharuan tetap
tidak berhasil menghentikan gerak maju Barat ke dunia Islam di abad 19 M.[11]
Ketika perang dunia I meletus, Turki bergabung dengan Jerman yang
kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya kekuasaan kerajaan Turki Usmani semakin
ambruk. Partai kesatuan dan kemajuan pemberontak kepada Sultan dan dapat
menghapus kekhalifaan Usmani, kemudian membentuk Turki modern pada tahun 1924
M. Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan
oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis yang sedang bersaing.
Sementara dalam suatu pertemuan laut antara Inggris dan Perancis,
Jendral Kleber sebagai ganti jendral Napholeon itu kalah. Jendral Kleber dan
ekspedisinya meninggalkan Mesir 31 Agustus 1801 M dan di Mesir terjadi
kekosongan kekuasaan. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh perwira Turki, Muhammad
Ali yang didukung oleh rakyat berhasil mengamil kekuasaan dan mendirikan
dinastinya. Dimulai oleh Muhammad Ali, Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan
melakukan pembaharuan, tetapi pada tahun 1882 M negeri ini ditaklukan oleh
Inggris.[12]
Pada
abad ke 20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis
memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika. Sementara itu, Rusia menggerogoti
wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan
Turki Usmani yang berakhir dengan perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin.[13]
[1]Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 345.
[2] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 174.
[3]Samsul Munir
Amin, Op.Cit., 347.
[4]Ibid, hlm.
347-348.
[5]
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 344.
[6]Samsul Munir
Amin, Op.Cit., 349.
[7] Badri Yatim, Op.Cit.,
178.
[8] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
15
[9]Ibid.,
hlm. 16
[10]Badri Yatim, Op.Cit.,
179.
[11]Harun Nasution,
OpCit., 90.
[12]
G. H Jansen, Islam Militan, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 82-84.
[13]Badri Yatim, Op.Cit.,
182-183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar