Selasa, 26 April 2016

Imperialisme Barat Terhadap Dunia Islam



A.    Kemajuan Dunia Barat dalam Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Kemajuan yang telah dicapai bangsa-bangsa Barat pada periode ini sebenarnya memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan peradaban dunia Islam, baik ketika Islam mencapai puncak kemajuannya di Eropa maupun kemajuan yang dicapai dunia Islam di Baghdad. Bangsa barat banyak berhutang budi pada para ilmuwan muslim yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Spanyol (Andalusia) merupakan tempat yang paling utama bagi bangsa barat dalam menyerap peradaban Islam baik dalam bentuk hubungan politik, sosial maupun perekonomian dan peradaban antar bangsa. Bangsa barat menyaksikan realitas bahwa ketika Andalusia berada di bawah kekuasan umat Islam, negeri ini telah terlalu jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di Eropa., terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping perkembangan dan kemajuan bangunan fisik.
Dalam hal ini pemikiran Ibnu Rusyd atau Averros (1120 M-1198 M) sangat berpengaruh di dunia Eropa. Pemikiran ini berhasil melepaskan belenggu pemikiran taklid, dan mengkritik semua bentuk pemikiran yang tidak rasional diantara ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam yang banyak dipelajari ilmuwan Barat adalah ilmu kedokteran, ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Dari kerja keras dan tingginya kreativitas bangsa Barat dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh umat Islam, menyebabkan bangsa barat menemukan masa kemajuan dan kejayaannya.Setelah bangsa Barat menemukan masa kejayaannya, mereka ingin mengadakan ekspedisi ke berbagai negara diluar Eropa. Mereka ingin membuktikan pendapat dari GaliLeo Galilei yang menyatakan bahwa bumi ini bulat, yang berarti bahwa jika terus menelusuri jalan ke barat, maka akan sampai ditempat semula.[1]
Oleh karena itu, banyak bangsa Eropa berlomba mencari wilayah baru seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, dan sebagainya. Tujuan mereka tidak hanya untuk membuktikan kebenaran teori itu, tetapi juga ada sebagian mereka yang bertujuan mengambil alih kekuatan ekonomi umat Islam yang saat itu menguasai perekonomian dunia.
Di awal periode modern, kondisi dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke 20 M dunia Islam mulai bangkit melepaskan negerinya dari imperialisme Barat.
Pada abad 20 M ini merupakan periode kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran pada periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran modernisasi dalam Islam. Gerakan modernisasi tersebut paling tidak muncul karena dua hal berikut. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya seperti bid’ah, khufarat dan takhayul. Ajaran-ajaran inilah menurut mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran-ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Oleh karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.[2]
Ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran pada abad ke 18 M, Eropa Barat mengalami kemajuan pesat. Kerajaan Safawi hancur di awal abat ke 18 M, dan kerajaan Mughal (Mongol) hancur pada awal paruh ke dua abad ke 19 M di tangan Inggris yang kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India. Adapun kekuatan Islam terakhir yang masih disegani oleh lawan adalah kerajaan Usmani Turki. Akan tetapi yang terakhir ini pun Usmani dijuluki sebagai The sick Man of Europe, orang sakit Eropa. Kelemahan kerajaan-kerajaan Islam itu menyebabkan Eropa dapat menguasai dan menjajah negeri-negeri Islam dengan mudah. Satu demi satu negeri-negeri Islam dapat ditundukkan dan kemudian dijajah oleh bangsa Barat.[3]

B.     Kebangkitan Eropa
Bangsa-bangsa Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat pada awal kebangkitannya. Di hadapan mereka masih terdapat kekuatan-kekuatan angkatan perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus jalan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak mereka.
Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Setelah Christopher Colombus menemukan benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan timur melalui Cape Town (1498 M), benua Amerika dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu, sungguh tak terkirakan nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan karena tidak lagi tergantung kepada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
L. Stoddard dalam The New Word of Islam menggembarkan situasi ini dengan kata-kata demikian :
“Lalu dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya, dan Eropa yang terpojok itu menjadi yang dipertuan di laut dan dengan demikian yang dipertuan dunia. Terjadilah perputaran nasib yang maha hebat dalam sejarah seluruh umat manusia. Kalau Eropa tadinya menghadapi kegagahan dan ketangguhan Asia dengan putus asa, terhadap siapa saja kemenangan tak mungkin tercapai dengan serangan langsung, sekarang orang Eropa dapat memandangnya enteng.
Dalam bidang perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju karena daerah-daerah baru terbuka baginya. Mereka dapat memperoleh kekayaan yang tidak terhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Maka mulailah kemajuan bangsa Barat menandingi kemajuan umat Islam yang telah sejak lama memang berangsur-angsur mengalami kemunduran. Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani.[4]
Dengan  didukung oleh pertumbuhan produksi pabrik dalam skala, dan perubahan yang besar serta dengan metode komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta api, dan telegrap, Eropa telah siap untuk melakukan Ekspansi perdagangan. Kesemuanya ini diiringi dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari negara-negara besar Eropa.[5]
Negeri-negeri Islam yang jatuh pertama kali dibawah kekuasaan Eropa adalah negeri yang jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Usmani (Islam di Asia Tenggara dan Anak Benua India) karena kerajaan ini meskipun mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu.[6]

C.    Imperalisme Barat terhadap dunia Islam
Kelemahan dan kemunduran dunia Islam dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Barat untuk bangkit dan bergerak menuju ke arah negara-negera Islam serta menguasai dan menjajahnya. Motivasi mereka datang ke negara-negara Islam adalah motivasi ekonomi, politik dan agama. Hal tersebut dapat terlihat dari cara-cara mereka datang untuk pertama kali ke negara-negara Islam.
Pada saat yang sama Islam sedang terus dilanda kemunduran dan kelemahan dalam berbagai bidang, sehingga negara-negara Islam tidak mampu bersaing dengan bangsa barat yang didukung oleh kekuatan politik militer yang tangguh. Saat itulah dunia Islam berada dalam kekuasaan hukum imperialisme Barat.
Oleh karena itu, kedua bangsa barat itu terus gencar melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam dan berusaha menguasainya, sehingga dengan mudah mereka dapat emnyebarkan agama Kristen. Kondisi seperti ini didukung oleh semangat balas dendam yang disebut reqonquesta yaitu semangat balas dendam bangsa-bangsa Barat terhadap Islam yang dulu pernah menjajah mereka.
Satu demi satu negara-negara Islam akhirnya jatuh ke dalam genggaman penjajahan bangsa-bangsa barat. Hanya beberapa negara yang tidak dijajah oleh bangsa barat seperti kerajaan Turki Usmani dan Arab.

D.    Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Negeri-negeri Islam
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam ini, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa timur.[7]
Sejak kekalahan dalam pertempuran Wina itu, kerajaan Usmani juga menyadari akan kemundurannya dan kemajuan Barat usaha-usaha pembaruan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari suasana kemajuan di sana dari dekat.[8]
Celebi Mehmed diutus ke Paris tahun 1720 M dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan itu mendorong sultan Ahmad III (1703-1730 M) untuk memulai pembaruan di kerajaannya. Pada masa kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer dari Eropa untuk tujuan pembaruan militer dalam kerajaan Usmani. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Perancis De Rochefort, datang ke Istambul dalam rangka membentuk korp At-Then dan melatih tentara Usmani dalam ilmu-ilmu kemiliteran modern. Pada tahun 1729 M datang lagi Comte De Bonneval, juga dari Perancis, untuk memberi latihan penggunaan meriam modern. Ia dibantu oleh Machaty dari Irlandia Ramsay dari Skotlandia, dan Mornai dari Perancis. Pada tahun 1734 M, untuk pertama kalinya sekolah Teknik Militer dibuka.[9]
Usaha pembaharuan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam bidang-bidang yang lain pembaharuan juga dilaksanakan seperti pembukaan pencetakan di Istanbul tahun 1727, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga penerjemah buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki dilakukan dalam berbagai bidang untuk meraih kemajuan-kemajuan negara. Akan tetapi, walaupun demikian, usaha-usaha pembaruan itu bukan hanya gagal menahan kemunduran Kerjaan Turki Usmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan.
Penyebab kegagalan itu terutama adalah kelemahan raja-raja Usmani karena wewenangnya sudah jauh menurun. Disamping itu keuangan negara terus mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Usaha pembaharuan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah penghalang pembaharuan utama, yaitu tentara Yenisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II (1807-1839 M) pada tahun 1826 M. Struktur kekuasaan kerajaan dirombak, lembaga-lembaga modern pendidikan didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan dalam bahasa Turki, siswa-siswa Barat dikirim ke Eropa untuk belajar dan yang terpenting sekali adalah sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan.[10] Akan tetapi meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerak maju Barat ke dunia Islam di abad 19 M.[11]
Ketika perang dunia I meletus, Turki bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya kekuasaan kerajaan Turki Usmani semakin ambruk. Partai kesatuan dan kemajuan pemberontak kepada Sultan dan dapat menghapus kekhalifaan Usmani, kemudian membentuk Turki modern pada tahun 1924 M. Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis yang sedang bersaing.
Sementara dalam suatu pertemuan laut antara Inggris dan Perancis, Jendral Kleber sebagai ganti jendral Napholeon itu kalah. Jendral Kleber dan ekspedisinya meninggalkan Mesir 31 Agustus 1801 M dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh perwira Turki, Muhammad Ali yang didukung oleh rakyat berhasil mengamil kekuasaan dan mendirikan dinastinya. Dimulai oleh Muhammad Ali, Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan pembaharuan, tetapi pada tahun 1882 M negeri ini ditaklukan oleh Inggris.[12]
Pada abad ke 20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika. Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin.[13]


[1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 345.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 174.
[3]Samsul Munir Amin, Op.Cit., 347.
[4]Ibid, hlm. 347-348.
[5] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 344.
[6]Samsul Munir Amin, Op.Cit., 349.
[7] Badri Yatim, Op.Cit., 178.
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 15
[9]Ibid., hlm. 16
[10]Badri Yatim, Op.Cit.,  179.
[11]Harun Nasution, OpCit., 90.
[12] G. H Jansen, Islam Militan, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 82-84.
[13]Badri Yatim, Op.Cit., 182-183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar