Minggu, 09 Mei 2021

POKOK-POKOK PEMIKIRAN IBNU KHALDUN PADA DUNIA PENDIDIKAN

 

Pendekatan dan Teori

Metode Ibnu Khaldun untuk merumuskan konsep pendidikan ialah menggunakan pendekatan filsafat sejarah (Historical Philosophi Aproach) dengan menghubungkan antara konsep dan realita atau dengan kata lain pendekatan tersebut adalah suatu pendekatan yang mencoba menggali konsepsi para filosof yang telah ditemukan jawabannya oleh para filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil kajian tersebut menimbulkan fenomena baru dari berbagai sudut tinjauan atau aliran pemikiran.[1]

Dalam melakukan aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun, haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik.[2]

Ide Pokok Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan

1.      Tujuan pendidikan

a.       Tujuan penigkatan pemikiran

Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan ketrampilan.

b.      Tujuan peningkatan kemasyarakatan

Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah lebih baik. Dengan demikian semakin dinamis budaya masyarakat maka akan semakin bermutu dan dinamis pula ketrampilan masyarakat tersebut.

c.       Tujuan kerohanian

Dengan meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadah, dzikir, khalwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[3]

2.      Kurikulum pendidikan dan klasifikasi ilmu

Ibnu Khaldun menyusun kurikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam. Pertama, kelompok ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair). Kedua, kelompok ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ketiga, kelompok ilmu aqli yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir. Di mana proses perolehan tersebut dilakukan melalui akal.[4]

3.      Prinsip-prinsip dalam proses belajar mengajar

Prinsip-prinsip tersebut secara garis besarnya meliputi beberapa hal. Pertama, adanya penahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tema-tema yang diajarkan secara bersamaan. Kedua, tidak membebani pikiran siswa. Ketiga, tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahaminya secara utuh. Keempat, lupa merupakan hal biasa dalam belajar. Kelima, tidak bertindak keras terhadap siswa.[5]

4.      Sifat-sifat pendidik

Adapun sifa-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik menurut Ibnu Khaldun antara lain :

a.       Pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik.

b.      Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai suri teladan.

c.       Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik.

d.      Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.

e.       Pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan luas tentang peserta didik.[6]

5.      Metode mengajar

Ibnu Khaldun menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Metode ini menurut Ibnu Khaldun sangat bermanfaat dan merupakan metode paling efektif dalam pembelajaran. Hal penting lain yang menurut Ibnu Khaldun perlu dipersiapkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu berdo’a. Jika hal ini dilakukan menurut Ibnu Khaldun akan mengantarakan kita kepada pencarahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer of knowledge.[7]

Ibnu Khaldun juga mendorong agar melakukan Widya-Wisata untuk menuntut ilmu, karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengamatan indrawinya.[8]

 

Analisis Pemikiran Ibnu Khaldun dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini

Dari beberapa penjelasan beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan, kami menganalisa bahwa pemikiran beliau sangat relevan dengan pendidikan masa kini di Indonesia. Di mana Ibnu Khaldun mempunyai konsep bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pemikiran atau akal manusia agar lebih giat melakukan ketrampilan sehingga nantinya individu tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup di dalam masyarakat dan dapat mewujudkan budaya masyarakat yang dinamis. Selain itu juga meningkatkan jiwa spiritualitas sehingga dapat menjadikan akhlak manusia lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendidikan di Indonesia yang juga mengharapkan tercapainya tujuan pendidikan yaitu dalam aspek afektif, psikomotorik dan kognitif peserta didik.

Selanjutnya berkaitan dengan kurikulum, pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa menyusun kurikulum adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Di mana Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam yaitu kelompok ilmu lisan, ilmu naqli dan ilmu aqli. Hal ini selaras dengan pendidikan di saat ini yang juga selain mempelajari ilmu lisan (bahasa) dan ilmu aqli (misalnya ilmu logika, fisika dan sebagainya) juga mempelajari ilmu naqli yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan sebagainya.

Mengenai prinsip penahapan dan pengulangan secara berproses yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun sangat relevan dengan prinsip pendidikan saat ini yang mana seorang guru hendaknya memberikan pemahaman secara bertahap tentang masalah dalam setiap bab dengan memperhatikan kemampuan dan daya serap siswa dari pemahaman yang diterimanya. Kemudian prinsip tidak membebani siswa juga sangat relevan, karena di sini seorang guru harus selalu mempersiapkan cara yang akan digunakan dan dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu tanpa memberikan tambahan beban dalam prosesnya. Lalu prinsip yang ketiga yang menyatakan bahwa seorang guru hendaknya tidak pindah dari satu materi ke materi yang lainnya sebelum siswa memahaminya secara utuh juga sangat relevan. Hal ini dikarenakan melihat kondisi saat ini misalnya jika seorang siswa belum menguasai matematika dasar maka ia akan diberi pemahaman atau pengulangan materi yang belum dipahami melalui proses remidial yaitu dengan membahasnya bersama-sama di dalam kelas.

Dari beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang sifat-sifat pendidik sangat relevan dengan kriteria guru di Indonesia. Sebagaimana konsep Ki Hajar Dewantara yaitu, Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan harus mampu memberi tauladan), Ing Madyo Mbangun Karso (di tengah memberi inovasi), Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan moral dan semangat). Di samping relevan dengan hal tersebut, juga relevan dengan kriteria guru profesional Indonesia. Di mana dalam hal ini pendidik haruslah memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi interpersonal dan kompetensi profesional.

Ibnu Khaldun menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Hal ini sangat relevan dengan pendidikan sekarang yang sedang diterapkan di Indonesia di mana penerapan kurikulum 2013 yang juga menerapkan metode belajar siswa lebih aktif. Terkait dengan hal tersebut, metode diskusi di sini adalah salah satu metode yang mengajarkan siswa untuk aktif di dalam kelas. Selain itu kurikulum 2013 ini juga mengedepankan aspek spiritualitas yang mana sangat relevan dengan pemikiran Ibnu Khaldun yang menganjurkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu berdo’a. Jika hal ini dilakukan menurut beliau akan mengantarakan kita kepada pencarahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer of knowledge

Mengenai konsep metode Widya-Wisata untuk menuntut ilmu disini sangat relevan. Dimana pendidikan seperti sekarang ini juga menerapkan metode tersebut. Misalnya dengan diadakannya study tour siswa dapat dengan mudah memahami dan mengobservasi secara langsung di lapangan sehingga dengan demikian siswa akan lebih jelas pemahamannya terhadap pengetahuannya.



[1] Abdullah Kholik, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 16.

[2] M. Sugeng Solehuddin, op. cit., hlm. 77.

[3] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 20-21.

[4] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 105.

[5]Ibid., hlm. 109.

[6] Ramayulis dan Samsul Nizar, op. cit., hlm. 26-28.

[7] M. Zainuddin dkk, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 253-254.

[8] Ali Al- Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tumaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm. 201-202.

IBNU KHALDUN

 

BIOGRAFI SINGKAT IBNU KHALDUN

Nama lengkapnya Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Beliau lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M).[1]

Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Keluarganya berasal dari Hadhramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl ibn Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn Utsman, memasuki daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di abad ke-3 H (9 M). Anak cucu Khalid membentuk satu keluarga yang besar dengan nama Bani Khaldun.[2]

Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam menjalankan tugas, ahli dalam sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan masalah. Ketokohan beliau populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi (kemasyarakatan), ahli falsafah dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang dasar dasar agama seperti Al-Qur’an, fikih, hadits dan tauhid.[3]  Ibnu Khaldun juga mempelajari ilmu bahasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku A History of Islamic Philosophy: “Ibn Khaldun studied the koranic and linguistic sciences, the traditions, and jurisprudence with a series of teachers”.[4] Sewaktu kecil Ibnu Khaldun sudah menghafal Al-Qur’an dan tajwid gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri.

Pada usia 17 tahun, Ibnu Khaldun telah menguasai disiplin ilmu Islam klasik termasuk Ulum Aqliyah (Ilmu Kefilsafatan, tasawuf metafisika) ia mengikuti madzhab Maliki disamping ia juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dalam usia 21 tahun, Ibnu Khaldun telah diangkat menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs al fadl yang berkedudukan di Tunisia tahun 751 H (1350 M) tetapi berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalam satu pertempuran. Pada tahun 753 H dia ke Baskarah, dari sana ia berusaha bertemu dengan Abu Anan penguasa bani Marin yang sedang berada di Tilmisan. Pada tahun 775 H ia diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan dan setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris sultan sampai tahun 763 H (1361-1362 M). Tahun 764 H ia berangkat ke Granada diberi tugas oleh sultan bani Ahmar menjadi duta Castillah, lalu tahun 766 H ia pergi ke Bijayah atas undangan Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad yang mengangkatnya menjadi perdana menteri. Pada tahun 780 H Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya Tunisia untuk menelaah beberapa kitab lalu pada tahun 784 H ia berangkat ke Iskandaria Mesir untuk menghadiri kekacauan politik di Maghrib. Setelah itu, tahun 786 H ditunjuk menjadi dosen ilmu fiqh di Al Azhar. Pada tahun 801 H ia kembali diangkat sebagai ketua pengadilan dan pergi ke Baitul Maqdis tiga bulan setelah itu mengundurkan diri. Tahun 803 H ia ikut menemani Sultan ke Damaskus dalam satu pasukan menahan Timur Lenk penguasaan Mogul setelah kembali ke Kairo diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan hingga akhir hayatnya.[5] 

 

Setting Sosial

Ibnu Khaldun berasal dari keluarga terpelajar, neneknya pernah menjabat mentri keuangan Tunisia, sementara ayahnya sendiri adalah seorang administrator dan perwira militer dan moyangnya itu juga pemimpin politik di Seville dan pada waktu itu keilmuan dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin. Pada waktu itu yang menjadi pemimpin Seville berada di tangan keluarga Khaldun dan keluarga bangsawan lainnya serta pengaruh dan kekuasaan lainnya berada di tangan Khaldun.

Dari sejarah dan pengalaman hidupnya serta berbagai rintangan yang dihadapinya maka dari berbagai pengalaman itulah timbul konsep-konsep baru mengenai sosiolog sejarah dan pendidikan, jika dilihat dari pengalaman dalam berbagai pemerintahan yang berbeda dan selalu berganti-ganti maka ia adalah seorang diplomat ulung yang dapat bekerja sama dengan berbagai penguasa yang sedang berkuasa saat itu sehingga ia mampu menarik hati penguasa.[1]



[1] Ibid., hlm. 75.



[1] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 15.

[2] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 139.

[3] Abd. Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 123.

[4] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Singapore: Singapore National Printers, 1983), hlm. 323.

[5] M. Sugeng Sholehuddin, Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 74.