Pendekatan dan Teori
Metode Ibnu Khaldun untuk merumuskan konsep pendidikan ialah menggunakan pendekatan filsafat sejarah (Historical Philosophi Aproach) dengan menghubungkan antara konsep dan realita atau dengan kata lain pendekatan tersebut adalah suatu pendekatan yang mencoba menggali konsepsi para filosof yang telah ditemukan jawabannya oleh para filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil kajian tersebut menimbulkan fenomena baru dari berbagai sudut tinjauan atau aliran pemikiran.[1]
Dalam melakukan aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun, haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik.[2]
Ide Pokok Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan
1. Tujuan pendidikan
a. Tujuan penigkatan pemikiran
Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan ketrampilan.
b. Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah lebih baik. Dengan demikian semakin dinamis budaya masyarakat maka akan semakin bermutu dan dinamis pula ketrampilan masyarakat tersebut.
c. Tujuan kerohanian
Dengan meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadah, dzikir, khalwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[3]
2. Kurikulum pendidikan dan klasifikasi ilmu
Ibnu Khaldun menyusun kurikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam. Pertama, kelompok ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair). Kedua, kelompok ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ketiga, kelompok ilmu aqli yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir. Di mana proses perolehan tersebut dilakukan melalui akal.[4]
3. Prinsip-prinsip dalam proses belajar mengajar
Prinsip-prinsip tersebut secara garis besarnya meliputi beberapa hal. Pertama, adanya penahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tema-tema yang diajarkan secara bersamaan. Kedua, tidak membebani pikiran siswa. Ketiga, tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahaminya secara utuh. Keempat, lupa merupakan hal biasa dalam belajar. Kelima, tidak bertindak keras terhadap siswa.[5]
4. Sifat-sifat pendidik
Adapun sifa-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik menurut Ibnu Khaldun antara lain :
a. Pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik.
b. Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai suri teladan.
c. Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik.
d. Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
e. Pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan luas tentang peserta didik.[6]
5. Metode mengajar
Ibnu Khaldun menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Metode ini menurut Ibnu Khaldun sangat bermanfaat dan merupakan metode paling efektif dalam pembelajaran. Hal penting lain yang menurut Ibnu Khaldun perlu dipersiapkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu berdo’a. Jika hal ini dilakukan menurut Ibnu Khaldun akan mengantarakan kita kepada pencarahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer of knowledge.[7]
Ibnu Khaldun juga mendorong agar melakukan Widya-Wisata untuk menuntut ilmu, karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengamatan indrawinya.[8]
Analisis Pemikiran Ibnu Khaldun dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini
Dari beberapa penjelasan beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan, kami menganalisa bahwa pemikiran beliau sangat relevan dengan pendidikan masa kini di Indonesia. Di mana Ibnu Khaldun mempunyai konsep bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pemikiran atau akal manusia agar lebih giat melakukan ketrampilan sehingga nantinya individu tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup di dalam masyarakat dan dapat mewujudkan budaya masyarakat yang dinamis. Selain itu juga meningkatkan jiwa spiritualitas sehingga dapat menjadikan akhlak manusia lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendidikan di Indonesia yang juga mengharapkan tercapainya tujuan pendidikan yaitu dalam aspek afektif, psikomotorik dan kognitif peserta didik.
Selanjutnya berkaitan dengan kurikulum, pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa menyusun kurikulum adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Di mana Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam yaitu kelompok ilmu lisan, ilmu naqli dan ilmu aqli. Hal ini selaras dengan pendidikan di saat ini yang juga selain mempelajari ilmu lisan (bahasa) dan ilmu aqli (misalnya ilmu logika, fisika dan sebagainya) juga mempelajari ilmu naqli yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan sebagainya.
Mengenai prinsip penahapan dan pengulangan secara berproses yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun sangat relevan dengan prinsip pendidikan saat ini yang mana seorang guru hendaknya memberikan pemahaman secara bertahap tentang masalah dalam setiap bab dengan memperhatikan kemampuan dan daya serap siswa dari pemahaman yang diterimanya. Kemudian prinsip tidak membebani siswa juga sangat relevan, karena di sini seorang guru harus selalu mempersiapkan cara yang akan digunakan dan dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu tanpa memberikan tambahan beban dalam prosesnya. Lalu prinsip yang ketiga yang menyatakan bahwa seorang guru hendaknya tidak pindah dari satu materi ke materi yang lainnya sebelum siswa memahaminya secara utuh juga sangat relevan. Hal ini dikarenakan melihat kondisi saat ini misalnya jika seorang siswa belum menguasai matematika dasar maka ia akan diberi pemahaman atau pengulangan materi yang belum dipahami melalui proses remidial yaitu dengan membahasnya bersama-sama di dalam kelas.
Dari beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang sifat-sifat pendidik sangat relevan dengan kriteria guru di Indonesia. Sebagaimana konsep Ki Hajar Dewantara yaitu, Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan harus mampu memberi tauladan), Ing Madyo Mbangun Karso (di tengah memberi inovasi), Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan moral dan semangat). Di samping relevan dengan hal tersebut, juga relevan dengan kriteria guru profesional Indonesia. Di mana dalam hal ini pendidik haruslah memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi interpersonal dan kompetensi profesional.
Ibnu Khaldun menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Hal ini sangat relevan dengan pendidikan sekarang yang sedang diterapkan di Indonesia di mana penerapan kurikulum 2013 yang juga menerapkan metode belajar siswa lebih aktif. Terkait dengan hal tersebut, metode diskusi di sini adalah salah satu metode yang mengajarkan siswa untuk aktif di dalam kelas. Selain itu kurikulum 2013 ini juga mengedepankan aspek spiritualitas yang mana sangat relevan dengan pemikiran Ibnu Khaldun yang menganjurkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu berdo’a. Jika hal ini dilakukan menurut beliau akan mengantarakan kita kepada pencarahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer of knowledge
Mengenai konsep metode Widya-Wisata untuk menuntut ilmu disini sangat relevan. Dimana pendidikan seperti sekarang ini juga menerapkan metode tersebut. Misalnya dengan diadakannya study tour siswa dapat dengan mudah memahami dan mengobservasi secara langsung di lapangan sehingga dengan demikian siswa akan lebih jelas pemahamannya terhadap pengetahuannya.
[1] Abdullah Kholik, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 16.
[2] M. Sugeng Solehuddin, op. cit., hlm. 77.
[3] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 20-21.
[4] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 105.
[5]Ibid., hlm. 109.
[6] Ramayulis dan Samsul Nizar, op. cit., hlm. 26-28.
[7] M. Zainuddin dkk, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 253-254.
[8] Ali Al- Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tumaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta), hlm. 201-202.