A. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun.
Beliau lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dan wafat
di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M).[1]
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Keluarganya berasal dari Hadhramaut
dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi yang bernama Wayl ibn Hujr
dari kabilah Kindah.
Salah seorang cucu Wayl, Khalid ibn Utsman, memasuki
daerah Andalusia bersama orang-orang Arab penakluk di abad ke-3 H (9 M). Anak
cucu Khalid membentuk satu keluarga yang besar dengan nama Bani Khaldun.[2]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam menjalankan tugas, ahli
dalam sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan masalah. Ketokohan beliau
populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi (kemasyarakatan), ahli falsafah
dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang dasar dasar
agama seperti Al-Qur’an, fikih, hadits dan tauhid.[3] Ibnu Khaldun juga mempelajari ilmu bahasa,
sebagaimana yang dijelaskan dalam buku A History of Islamic Philosophy: “Ibn
Khaldun studied the koranic and linguistic sciences, the traditions, and
jurisprudence with a series of teachers”.[4] Sewaktu
kecil Ibnu Khaldun sudah menghafal Al-Qur’an dan tajwid gurunya yang pertama
adalah ayahnya sendiri.
Pada usia 17 tahun, Ibnu Khaldun telah menguasai disiplin ilmu Islam
klasik termasuk Ulum Aqliyah (Ilmu Kefilsafatan, tasawuf metafisika) ia
mengikuti madzhab Maliki disamping ia juga tertarik pada ilmu politik, sejarah,
ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dalam usia 21 tahun, Ibnu Khaldun telah
diangkat menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs al fadl yang
berkedudukan di Tunisia tahun 751 H (1350 M) tetapi berhenti karena penguasa
yang didukungnya kalah dalam satu pertempuran. Pada tahun 753 H dia ke
Baskarah, dari sana ia berusaha bertemu dengan Abu Anan penguasa bani Marin
yang sedang berada di Tilmisan. Pada tahun 775 H ia diangkat menjadi anggota
majelis ilmu pengetahuan dan setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris
sultan sampai tahun 763 H (1361-1362 M). Tahun 764 H ia berangkat ke Granada
diberi tugas oleh sultan bani Ahmar menjadi duta Castillah, lalu tahun 766 H ia
pergi ke Bijayah atas undangan Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad yang
mengangkatnya menjadi perdana menteri. Pada tahun 780 H Ibnu Khaldun kembali ke
tanah airnya Tunisia untuk menelaah beberapa kitab lalu pada tahun 784 H ia
berangkat ke Iskandaria Mesir untuk menghadiri kekacauan politik di Maghrib.
Setelah itu, tahun 786 H ditunjuk menjadi dosen ilmu fiqh di Al Azhar. Pada
tahun 801 H ia kembali diangkat sebagai ketua pengadilan dan pergi ke Baitul
Maqdis tiga bulan setelah itu mengundurkan diri. Tahun 803 H ia ikut menemani
Sultan ke Damaskus dalam satu pasukan menahan Timur Lenk penguasaan Mogul
setelah kembali ke Kairo diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan hingga
akhir hayatnya.[5]
B. Setting Sosial
Ibnu Khaldun
berasal dari keluarga terpelajar, neneknya pernah menjabat mentri keuangan
Tunisia, sementara ayahnya sendiri adalah seorang administrator dan perwira
militer dan moyangnya itu juga pemimpin politik di Seville dan pada waktu itu
keilmuan dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin. Pada waktu itu
yang menjadi pemimpin Seville berada di tangan keluarga Khaldun dan keluarga
bangsawan lainnya serta pengaruh dan kekuasaan lainnya berada di tangan
Khaldun.
Dari sejarah dan
pengalaman hidupnya serta berbagai rintangan yang dihadapinya maka dari
berbagai pengalaman itulah timbul konsep-konsep baru mengenai sosiolog sejarah
dan pendidikan, jika dilihat dari pengalaman dalam berbagai pemerintahan yang
berbeda dan selalu berganti-ganti maka ia adalah seorang diplomat ulung yang
dapat bekerja sama dengan berbagai penguasa yang sedang berkuasa saat itu
sehingga ia mampu menarik hati penguasa.[6]
C. Pendekatan dan Teori
Metode Ibnu
Khaldun untuk merumuskan konsep pendidikan ialah menggunakan pendekatan
filsafat sejarah (Historical Philosophi Aproach) dengan menghubungkan
antara konsep dan realita atau dengan kata lain pendekatan tersebut adalah
suatu pendekatan yang mencoba menggali konsepsi para filosof yang telah
ditemukan jawabannya oleh para filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil
kajian tersebut menimbulkan fenomena baru dari berbagai sudut tinjauan atau
aliran pemikiran.[7]
Dalam melakukan
aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat bahwa ilmu
pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai
hasil pemikiran atau berpikir. Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu
Khaldun, haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui
pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran
harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktik.[8]
D. Ide Pokok Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan
1. Tujuan
pendidikan
a. Tujuan
penigkatan pemikiran
Ibnu
Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan
kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat
dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan ketrampilan.
b. Tujuan
peningkatan kemasyarakatan
Ilmu
dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
manusia ke arah lebih baik. Dengan demikian semakin dinamis budaya masyarakat
maka akan semakin bermutu dan dinamis pula ketrampilan masyarakat tersebut.
c. Tujuan
kerohanian
Dengan
meningkatkan kerohanian manusia dengan menjalankan praktek ibadah, dzikir,
khalwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin
untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[9]
2. Kurikulum
pendidikan dan klasifikasi ilmu
Ibnu
Khaldun menyusun kurikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.
Ibnu
Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam. Pertama, kelompok ilmu lisan (bahasa)
yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun
secara puitis (syair). Kedua, kelompok ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari
dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ketiga, kelompok ilmu aqli yaitu ilmu-ilmu
yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir. Di mana proses perolehan
tersebut dilakukan melalui akal.[10]
3. Prinsip-prinsip
dalam proses belajar mengajar
Prinsip-prinsip
tersebut secara garis besarnya meliputi beberapa hal. Pertama, adanya penahapan
dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan kemampuan siswa
dan tema-tema yang diajarkan secara bersamaan. Kedua, tidak membebani pikiran
siswa. Ketiga, tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa
memahaminya secara utuh. Keempat, lupa merupakan hal biasa dalam belajar.
Kelima, tidak bertindak keras terhadap siswa.[11]
4. Sifat-sifat
pendidik
Adapun
sifa-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik menurut Ibnu Khaldun
antara lain :
a. Pendidik
hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman
yang merusak fisik dan psikis peserta didik.
b. Pendidik
hendaknya menjadikan dirinya sebagai suri teladan.
c. Pendidik
hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik.
d. Pendidik
hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
e. Pendidik
harus profesional dan mempunyai wawasan luas tentang peserta didik.[12]
5. Metode
mengajar
Ibnu
Khaldun menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran.
Metode ini menurut Ibnu Khaldun sangat bermanfaat dan merupakan metode paling
efektif dalam pembelajaran. Hal penting lain yang menurut Ibnu Khaldun perlu
dipersiapkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu berdo’a. Jika hal ini
dilakukan menurut Ibnu Khaldun akan mengantarakan kita kepada pencarahan jiwa
atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer of
knowledge.[13]
Ibnu
Khaldun juga mendorong agar melakukan Widya-Wisata untuk menuntut ilmu, karena
dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan yang
banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak dan pengetahuan mereka berdasarkan
observasi langsung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya
terhadap pengetahuan lewat pengamatan indrawinya.[14]
E. Analisis Pemikiran Ibnu Khaldun dan Relevansinya
dengan Dunia Pendidikan Masa Kini
Dari beberapa
penjelasan beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan, kami
menganalisa bahwa pemikiran beliau sangat relevan dengan pendidikan masa kini
di Indonesia. Di mana Ibnu Khaldun mempunyai konsep bahwa pendidikan bertujuan
untuk meningkatkan pemikiran atau akal manusia agar lebih giat melakukan
ketrampilan sehingga nantinya individu tersebut dapat meningkatkan kualitas
hidup di dalam masyarakat dan dapat mewujudkan budaya masyarakat yang dinamis.
Selain itu juga meningkatkan jiwa spiritualitas sehingga dapat menjadikan
akhlak manusia lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendidikan di Indonesia yang
juga mengharapkan tercapainya tujuan pendidikan yaitu dalam aspek afektif,
psikomotorik dan kognitif peserta didik.
Selanjutnya
berkaitan dengan kurikulum, pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa
menyusun kurikulum adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan. Di mana Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam yaitu kelompok
ilmu lisan, ilmu naqli dan ilmu aqli. Hal ini selaras dengan pendidikan di saat
ini yang juga selain mempelajari ilmu lisan (bahasa) dan ilmu aqli (misalnya
ilmu logika, fisika dan sebagainya) juga mempelajari ilmu naqli yang diambil
dari kitab suci dan sunnah Nabi seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu kalam, ilmu
tasawuf dan sebagainya.
Mengenai prinsip
penahapan dan pengulangan secara berproses yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun
sangat relevan dengan prinsip pendidikan saat ini yang mana seorang guru
hendaknya memberikan pemahaman secara bertahap tentang masalah dalam setiap bab
dengan memperhatikan kemampuan dan daya serap siswa dari pemahaman yang
diterimanya. Kemudian prinsip tidak membebani siswa juga sangat relevan, karena
di sini seorang guru harus selalu mempersiapkan cara yang akan digunakan dan
dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu tanpa
memberikan tambahan beban dalam prosesnya. Lalu prinsip yang ketiga yang
menyatakan bahwa seorang guru hendaknya tidak pindah dari satu materi ke materi
yang lainnya sebelum siswa memahaminya secara utuh juga sangat relevan. Hal ini
dikarenakan melihat kondisi saat ini misalnya jika seorang siswa belum
menguasai matematika dasar maka ia akan diberi pemahaman atau pengulangan
materi yang belum dipahami melalui proses remidial yaitu dengan membahasnya
bersama-sama di dalam kelas.
Dari beberapa
konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang sifat-sifat pendidik sangat relevan
dengan kriteria guru di Indonesia. Sebagaimana konsep Ki Hajar Dewantara yaitu,
Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan harus mampu memberi tauladan), Ing
Madyo Mbangun Karso (di tengah memberi inovasi), Tut Wuri Handayani (di
belakang memberikan dorongan moral dan semangat). Di samping relevan dengan hal
tersebut, juga relevan dengan kriteria guru profesional Indonesia. Di mana
dalam hal ini pendidik haruslah memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
sosial, kompetensi interpersonal dan kompetensi profesional.
Ibnu Khaldun
menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Hal ini sangat
relevan dengan pendidikan sekarang yang sedang diterapkan di Indonesia di mana
penerapan kurikulum 2013 yang juga menerapkan metode belajar siswa lebih aktif.
Terkait dengan hal tersebut, metode diskusi di sini adalah salah satu metode
yang mengajarkan siswa untuk aktif di dalam kelas. Selain itu kurikulum 2013
ini juga mengedepankan aspek spiritualitas yang mana sangat relevan dengan
pemikiran Ibnu Khaldun yang menganjurkan sebelum memulai belajar mengajar yaitu
berdo’a. Jika hal ini dilakukan menurut beliau akan mengantarakan kita kepada
pencarahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan yang akan memudahkan proses transfer
of knowledge
Mengenai konsep metode
Widya-Wisata untuk menuntut ilmu disini sangat relevan. Dimana pendidikan
seperti sekarang ini juga menerapkan metode tersebut. Misalnya dengan
diadakannya study tour siswa dapat dengan mudah memahami dan mengobservasi
secara langsung di lapangan sehingga dengan demikian siswa akan lebih jelas
pemahamannya terhadap pengetahuannya.
[1] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn
Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003),
hlm. 15.
[2] Badri Yatim, Historiografi
Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 139.
[3] Abd. Rahman Assegaf, Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 123.
[4] Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy (Singapore: Singapore National Printers, 1983), hlm.
323.
[5] M. Sugeng Sholehuddin, Reinventing
Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm.
74.
[6] Ibid., hlm. 75.
[7] Abdullah Kholik, dkk., Pemikiran
Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 16.
[8] M. Sugeng Solehuddin, op. cit.,
hlm. 77.
[9] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 20-21.
[10]
Syamsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013), hlm. 105.
[12] Ramayulis dan Samsul Nizar, op.
cit., hlm. 26-28.
[13] M. Zainuddin dkk, Pendidikan
Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer (Malang: UIN Malang Press,
2009), hlm. 253-254.
[14] Ali Al- Jumbulati dan Abdul Futuh
At-Tumaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta),
hlm. 201-202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar