A. Hak dan kewajiban suami istri
Hak
dan kewajiban suami istri yaitu suami dan istri harus sama-sama menjalankan
tanggung jawabnya masing-masing. Karena jika hal tersebut dijalankan oleh
keduanya, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, wawaddah
warahmah.[1]
1. Hak-hak
istri yang harus ditunaikan oleh suami
Salah
satu upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah pengakuan terhadap
segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam perkawinan bahwa hak
yang pertama ditetapkan oleh Islam adalah hak perempuan menerima mahar. Allah
swt menetapkan mahar sebagai salah satu kewajiban suami atau hak istri yang
diberikan ketika menjelang atau sedang dilakukan akad perkawinan, baik secara
simbolik maupun secara langsung, secara kontan atau tidak kontan.[2]
Dalam Q.S. An-Nisa ayat 4 Allah swt berfirman
:
وَاتُواالنِّساءِ
صُدُقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَاِنْ طِبْنَ
لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنيأً مَّرٍيْأً (النساء:4)
Artinya :
“Berikan
maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[3]
(Q.S. An-Nisa : 4).
b. Hak
digauli dengan baik
Menggauli
istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 19 :
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِلْمَعْرُفِ....
Artinya
:
“.... dan pergaulilah
istri-istri mu dengan baik...” (Q.S An-Nisa: 19).[4]
Pergaulan
yang dimaksudkan berkaitan dengan hak istri adalah seorang suami hendaknya
bersikap lemah lembut kepada istri. Dalam Islam pergaulan antara suami istri
ditempatkan sebagai ibadah, sehingga satu-satunya ibadah yang menggunakan
unsur-unsur seksualitas adalah pernikahan. Tidur dan menggauli istri mendapat
pahala jika dilakukan dengan cara baik dan benar.[5]
c. Hak
dimuliakan
Suami
musti menghormati, memuliakan, dan mengakui hak manusiawi istri. Istri adalah
pasangan hidupnya, pengurus rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, dan tempat
menyimpan rahasianya.[6]
d. Hak
dinafkahi
Diantara
hak istri adalah meminta nafkah dari suami untuk dirinya dan anak-anaknya.
Allah berfirman :
...
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِا الْمَعْرُوْفِ...
Artinya
:
“....
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf...” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Nafkah
itu bukan saja makanan dan minuman, tetapi meliputi tempat tinggal, makanan,
pakaian dan segala sesuatu yang dibutuhkan istri dalam kehidupan keluarga.[7]
e. Hak
mengelola harta pribadinya
Diantara
hak istri adalah hak mengelola harta pribadinya. Istri memiliki hak penuh
mengelola uangnya sendiri dari hasil usaha atau dari warisan orang tuanya atau
ang berupa mahar dari suaminya. Semua jenis harta itu tidak boleh
dicampurtangani suami melainkan dengan ridho istri. Hal itu seperti firman
Allah swt :
وَاِنْ
أَرَدتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ
قِنطَارًا فَلَا تاْخُذُوْامِنْهُ شَيْئًا أتَأْخُذُونَهُ بُهْتنًا وِ اِثْمًا
مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَاْخُذُوْنَهُ و قَدْ افْضى بَعْضُكُمْ الى بَعْضٍ
وَأَخَدْ نَ مِنْكُمْ مِّيثقًا غَلِيْظًا (21)
Artinya
:
“Dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isri yang lain, sedang kamu telah
membarikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata
? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah ergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ?” (Q.S. An-Nisa : 20-21). [8]
2. Hak-hak
suami yang harus ditunaikan oleh istrinya
a. Hak
untuk ditaati
Istri
harus mentaati suaminya dengan ma’ruf. Hendaknya ia mentaati suaminya, menjaga
kehormatannya, dan tidak menyombongkan diri kepadanya agar ia bisa hidup
ditengah-tengah kebahagiaan.[9]
b. Hak
dijaga harta dan kehormatanya
Diantara
hak suami adalah hendaknya istri menjaga harta dan kehormatan suaminya, dan
tidak mengijnkan seorangpun memasuki rumah suaminya, melainkan dengan ijinnya.
c. Hak
menggauli istri
Diantara
hak suami yang harus ditunaikan istrinya adalah hendaknya istri tidak
menghalangi suaminya bila berjimak dengannya. Rasul saw memerintahkan istri
agar memenuhi hajat suami meskipun ia tengah mengepam roti dalam oven, agar
tidak terjadi fitnah dalam diri suaminya
agar ikatan cinta suami-istri melanggeng. Beliau bersabda :
اِذَا
الرَّجُلُ دَعَازَوجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فلْتَاْ تِهِ وَاِنْ كَانَتْ عَلَى
التَّنُّورِ
Artinya :
“Apabila
seorang suami mengajak istrinya untuk kebutuhannya (berjimak), maka hendaknya
sang istri mendatanginya meskipun tengah berada di samping tungku perapian.”
d. Hak
dipelihara urusan rumah tangganya
Diantara
hak suami yang harus ditunaikan oleh istrinya adalah hendaknya ia menjalankan
dan memelihara urusan keluarga, melakukan pekerjaan rumahnya, seperti memasak,
mencuci, bersih-bersih sesuai dengan adat yang berlaku disetiap masa.
e. Hak
melarang istri keluar rumah
Diantara
hak suami yang harus ditunaikan oleh
istrinya adalah tinggal di rumah dan tidak keluar rumah melainkan karena
darurat, misalnya untuk rekreasi, silaturahmi, dan memenuhi hajat.[10]
3. Hak
bersama suami istri
Yang
dimaksud dengan hak bersama suami istri ini adalah hak bersama secara timbal
balik dari pasangan suami istriterhadap yang lain. Adapun hak bersama itu
adalah sebagai berikut :
a. Bolehnya
bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya.
b. Timbulnya
hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan
keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
c. Hubungan
saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain
bila terjadi kematian.
4. Kewajiban
bersama suami istri
a. Memelihara
anak keturunan yang lahir dari perkaawinan tersebut.
b. Memelihara
keidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[11]
c. Suami
istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin kepada satu sama lain.
d. Jika
suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan agama.[12]
B. Harta kekayaan dalam pernikahan
1. Harta
bawaan
Dalam
hal barang atau harta bawaan antara antara suami dan istri pada dasarnya tidak
ada percampuran antara keduanya (harta suami dan harta istri) karena
perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Dalam
sebuah hadits Nabi saw. yang artinya :
Dari
Ali r.a katanya “Rasulullah saw. Memberi barang bawaan kepada fatimah berupa
pakaian, kantong tempat air terbuat dari kulit, bantal berenda.” (H.R Nasa’i)[13]
2. Harta
bersama suami istri
Adanya
harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak terwujud
bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami atau istri tanpa persetujuan
dari salah satu pihak tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri mempuanyai
pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.[14]
[1] Slamet Abidin & Aminudin. Fiqh
Munakahat, (Jil. 1; Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.157.
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqh
Munakahat, (Jil. 2; Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 12.
[3] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan
Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 101-102.
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm.121.
[5] Beni Ahmad Saebani, op.cit.,
hlm.14-16.
[6]
Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm.
134.
[7] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan
Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 135.
[8] Ibid., hlm. 136-137.
[9] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan
Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 158.
[10] Ibid., hlm. 163-172.
[11] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm.123-124.
[12] Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm.157.
[13] Slamet Abidin & Aminudin, Fiqh
Munakahat, (Jil. 1; Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 182.
[14] Ibid., hlm.183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar