Selasa, 28 Juli 2015

Hak dan Kewajiban Suami Istri, Harta kekayaan dalam Pernikahan



A.    Hak dan kewajiban suami istri
Hak dan kewajiban suami istri yaitu suami dan istri harus sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing. Karena jika hal tersebut dijalankan oleh keduanya, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, wawaddah warahmah.[1]
1.      Hak-hak istri yang harus ditunaikan oleh suami
a.       Hak menerima mahar
Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah pengakuan terhadap segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam perkawinan bahwa hak yang pertama ditetapkan oleh Islam adalah hak perempuan menerima mahar. Allah swt menetapkan mahar sebagai salah satu kewajiban suami atau hak istri yang diberikan ketika menjelang atau sedang dilakukan akad perkawinan, baik secara simbolik maupun secara langsung, secara kontan atau tidak kontan.[2]
 Dalam Q.S. An-Nisa ayat 4 Allah swt berfirman :
وَاتُواالنِّساءِ صُدُقَتِهِنَّ نِحْلَةً  فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنيأً مَّرٍيْأً  (النساء:4)
Artinya :
“Berikan maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[3] (Q.S. An-Nisa : 4).
b.      Hak digauli dengan baik
Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 19 :
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِلْمَعْرُفِ....
Artinya :
“.... dan pergaulilah istri-istri mu dengan baik...” (Q.S An-Nisa: 19).[4]

Pergaulan yang dimaksudkan berkaitan dengan hak istri adalah seorang suami hendaknya bersikap lemah lembut kepada istri. Dalam Islam pergaulan antara suami istri ditempatkan sebagai ibadah, sehingga satu-satunya ibadah yang menggunakan unsur-unsur seksualitas adalah pernikahan. Tidur dan menggauli istri mendapat pahala jika dilakukan dengan cara baik dan benar.[5]
c.       Hak dimuliakan
Suami musti menghormati, memuliakan, dan mengakui hak manusiawi istri. Istri adalah pasangan hidupnya, pengurus rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, dan tempat menyimpan rahasianya.[6]
d.      Hak dinafkahi
Diantara hak istri adalah meminta nafkah dari suami untuk dirinya dan anak-anaknya. Allah berfirman :
... وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِا الْمَعْرُوْفِ...
Artinya :
“.... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf...” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Nafkah itu bukan saja makanan dan minuman, tetapi meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian dan segala sesuatu yang dibutuhkan istri dalam kehidupan keluarga.[7]
e.       Hak mengelola harta pribadinya
Diantara hak istri adalah hak mengelola harta pribadinya. Istri memiliki hak penuh mengelola uangnya sendiri dari hasil usaha atau dari warisan orang tuanya atau ang berupa mahar dari suaminya. Semua jenis harta itu tidak boleh dicampurtangani suami melainkan dengan ridho istri. Hal itu seperti firman Allah swt :
وَاِنْ أَرَدتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تاْخُذُوْامِنْهُ شَيْئًا أتَأْخُذُونَهُ بُهْتنًا وِ اِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَاْخُذُوْنَهُ و قَدْ افْضى بَعْضُكُمْ الى بَعْضٍ وَأَخَدْ نَ مِنْكُمْ مِّيثقًا غَلِيْظًا (21)
Artinya :
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isri yang lain, sedang kamu telah membarikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah ergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ?” (Q.S. An-Nisa : 20-21). [8]

2.      Hak-hak suami yang harus ditunaikan oleh istrinya
a.       Hak untuk ditaati
Istri harus mentaati suaminya dengan ma’ruf. Hendaknya ia mentaati suaminya, menjaga kehormatannya, dan tidak menyombongkan diri kepadanya agar ia bisa hidup ditengah-tengah kebahagiaan.[9]
b.      Hak dijaga harta dan kehormatanya
Diantara hak suami adalah hendaknya istri menjaga harta dan kehormatan suaminya, dan tidak mengijnkan seorangpun memasuki rumah suaminya, melainkan dengan ijinnya.
c.       Hak menggauli istri
Diantara hak suami yang harus ditunaikan istrinya adalah hendaknya istri tidak menghalangi suaminya bila berjimak dengannya. Rasul saw memerintahkan istri agar memenuhi hajat suami meskipun ia tengah mengepam roti dalam oven, agar tidak terjadi fitnah  dalam diri suaminya agar ikatan cinta suami-istri melanggeng. Beliau bersabda :
اِذَا الرَّجُلُ دَعَازَوجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فلْتَاْ تِهِ وَاِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
Artinya :
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk kebutuhannya (berjimak), maka hendaknya sang istri mendatanginya meskipun tengah berada di samping tungku perapian.”
d.      Hak dipelihara urusan rumah tangganya
Diantara hak suami yang harus ditunaikan oleh istrinya adalah hendaknya ia menjalankan dan memelihara urusan keluarga, melakukan pekerjaan rumahnya, seperti memasak, mencuci, bersih-bersih sesuai dengan adat yang berlaku disetiap masa.
e.       Hak melarang istri keluar rumah
Diantara hak suami yang harus ditunaikan  oleh istrinya adalah tinggal di rumah dan tidak keluar rumah melainkan karena darurat, misalnya untuk rekreasi, silaturahmi, dan memenuhi hajat.[10]

3.      Hak bersama suami istri
Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istriterhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut :
a.       Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya.
b.      Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
c.       Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.

4.      Kewajiban bersama suami istri
a.       Memelihara anak keturunan yang lahir dari perkaawinan tersebut.
b.      Memelihara keidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[11]
c.       Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin kepada satu sama lain.
d.      Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.[12]

B.     Harta kekayaan dalam pernikahan
1.      Harta bawaan
Dalam hal barang atau harta bawaan antara antara suami dan istri pada dasarnya tidak ada percampuran antara keduanya (harta suami dan harta istri) karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Dalam sebuah hadits Nabi saw. yang artinya :
Dari Ali r.a katanya “Rasulullah saw. Memberi barang bawaan kepada fatimah berupa pakaian, kantong tempat air terbuat dari kulit, bantal berenda.” (H.R Nasa’i)[13]

2.      Harta bersama suami istri
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Sedang yang tidak terwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami atau istri tanpa persetujuan dari salah satu pihak tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini, baik suami maupun istri mempuanyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.[14]


[1] Slamet Abidin & Aminudin. Fiqh Munakahat, (Jil. 1; Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.157.
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Jil. 2; Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 12.
[3] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 101-102.
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm.121.
[5] Beni Ahmad Saebani, op.cit., hlm.14-16.
[6]  Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 134.
[7] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 135.
[8] Ibid., hlm. 136-137.
[9] Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Solo: Mumtaza, 2008), hlm. 158.
[10] Ibid., hlm. 163-172.
[11] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm.123-124.
[12] Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.157.
[13] Slamet Abidin & Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jil. 1; Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 182.
[14] Ibid., hlm.183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar