A.
Hadits 1
عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَال : قَال النَّبِيُّ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَا حَسَدَ اِلَّا فِي اتْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ
اللّهُ مَا لًا فَسُلِّط عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَخُلٌ آتَاهُ اللّهُ
الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا ( أخرجه الشبحان و ابن ماجه وهذه
رواية البخاري : باب الاغتباط فى العلم والحكمة )
Dari Abdillah bin Mas’ud berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak
iri (hasud) yang diperbolehkan, kecuali pada dua orang ; seseorang yang diberi
kekayaan harta oleh Allah, lalu dikuasakan atas belanjakannya pada jalan
kebenaran. Dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu yang bermanfaat) oleh Allah
SWT, ia amalkan dan ia ajarkannya kepada orang lai. ”[1]
v Penjelasan hadits
Hadits ini menjelaskan ada dua hasut (iri hati) yang diperbolehkan
dalam islam. Pertama, harta benda seseorang yang didermakan di jalan Allah.
Kedua, ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang dan kemudian diamalkan dan
diajarkan. Hasut atau iri di sini diartikan ghibthah yang diperbolehkan bukan
hasut syar’i yang dilarang.
Iri Ghibthah diperintahkan bagi setiap orang karena termasuk
bagian dari berbalap dalam kebaikan (fastabiqul khairat), terutama bagi
pelajar perlu mempunyai cita-cita yang tinggi supaya dapat memotivasi hidup
dalam perjuangan mencapai cita-cita yang tinggi itu. Iri ghibthah
identik dengan cita-cita atau harapan ingin menjadi orang sukses seperti orang
lain yang telah sukses. cita-cia yang diinginkan konkret karena telah melihat
bukti nyata di tengah-tengah masyarakat.
v Aspek tarbawi
a.
Iri
hati di sini dimaksudkan ghibthah, yaitu memiliki cita-cita kebaikan
seperti yang dimiliki orang lain adalah suatu anjuran dalam agama dan bagian dari
berlomba-lomba dalam kebaikan.
b.
Anjuran
memiliki cita-cita yang tinggi bagi para pelajar agar dapat memotivasi
meraihnya dengan belajar yang sungguh-sungguh.
c.
Dengki
yang tercela yakni mengharapkan hancurnya nikmat orang lain adalah sebuah
penyakit sosial yang berbahaya.
d.
Anjuran
bersifat murah tidak bakhil terhadap harta yang telah diberikan Allah.
e.
Anjuran
mempelajari ilmu yang bermanfaat diamalkan dan diajarkan.[2]
B.
Hadits 2
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
قَا لَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ
الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا فكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ
الْمَاءَ فَاَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ وَ كَانَتْ مِنْهَا
أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا
وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى أِنَّمَا هِيَ
قِيْعَانٌ لَاتُمْسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ
فِي ديْنِ اللّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ
مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَ لِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللّهِ الَّذِى
أُرْسِلْتُ بِهِ (اخرجه الشيخان واحمد وهذه رواية البخاري : كتاب العلم : باب فضل
من علم وعلّم )
v Terjemah :
Dari Abi Musa r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :
“sesungguhnya perumpamaan petunjuk (hidayah) dan ilmu yang dengannya aku diutus
oleh Allah bagaikan hujan yang jatuh mengenai bumi. Diantaranya ada bumi yang
subur, ia dapat menerima air kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput
yang lebat. Diantaranya ada bumi yang tandus (tanah berbatu padas) yang dapat
menahan air, lalu dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia sehingga
mereka dapat minum, menyirami, dan bercocok tanam daripadanya. Dan (air hujan)
ada yang mengenai sebagian bumi, sesungguhnya ia tanah licin tidak dapat
menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Demikian itu, perumpamaan
orang yang mengkaji agama Allah dan bermanfaat apa yang aku diutus dengannya,
ia mengetahui dan mengerjakan (kepada orang lain) dan perumpamaan orang yang
tidak peduli (tidak mau mengambil manfaat apa yang aku diutus dengannya), dan tidak
menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”[3]
v Penjelasan hadits
Rasulullah saw membuat perumpamaan yang indah tentang ilmu dan
petunjuk yang diberikan kepada manusia bagaikan hujan yang menyirami bumi.
Kedua perumpamaan bumi dan manusia membutuhkan siraman, bumi perlu siraman air
agar menjadi tanah yang subur dan dapat menumbuhkan tanam-tanaman yang hijau
kemudian dimanfaatkan untuk manusia. Demikian halnya hati manusia perlu disiram
dengan petunjuk dan ilmu, agar hatinya menjadi subur menerima petunjuk
mendapatkan ketenangan, kemudian diamalkan dan diajarkan sehingga manfaatnya
menjadi luas. Pada hadits di atas ada tiga karakter manusia sebagai anak didik
dalam menerima ilmu atau petunjuk yang diumpamakan seperti ragam tanah atau bumi ketika menerima siraman hujan dari
langit, sebagai berikut :
a.
Bagaikan
bumi subur
Dalam hadits
disebutkan :
فكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَاَنْبَتَتْ الْكَلَأَ
وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ
“Diantaranya
ada bumi yang subur, ia dapat menerima air kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dan rumput yang lebat.”
Maksudnya sebagian bumi ada yang subur dapat menerima air untuk
menyuburkan tanah dirinya, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang
subur. Tubuh-tumbuhan itu kemudian berkembang dan berubah yang sangat
bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Sama halnya karakter sebagian anak didik
yang baik ia menerima pelajaran dan paham ilmu, kemudian ilmu itu diamalkan dan
diajarkan kepada orang lain.
b.
Bagaikan
bumi tandus dan gersang
وَ كَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللّهُ
بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا
“Dan
diantaranya ada bumi yang tandus (tanah berbatu padas) yang dapat menahan air,
lalu dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia, sehingga mereka dapat
minum, menyirami, dan bercocok tanam daripadanya.
Maksudnya bumi tandus ini hanya dapat menampung air belaka, tetapi
tidak dapat menyerap untuk menumbuhkan tanam-tanaman atau buah-buahan. Memang
ia dapat memberi manfaat kepada manusia seperti untuk minum, untuk menyirami
dan untuk bercocok tanam tetapi ia tidak dapat mengambil manfaat untuk dirinya.
c.
Bagaikan
bumi licin mendatar
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى أِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ
لَاتُمْسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلَأً
“Dan (air
hujan) ada yang mengenai sebagian bumi, sesungguhnya ia tanah licin tidak dapat
menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman.”
Maksudnya disini sebagian peserta didik, mereka tidak dapat berbuat
sesuatu yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
v Aspek tarbawi
a.
Anjuran
untuk menuntut ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya secara serius dan
sungguh-sunguh.
b.
Karakter
peserta didik dalam menerima pelajaran ilmu : pertama, paham ilmu mengamalkan
dan mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, paham ilmu tidak mengamalkan
tetapi tidak mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga, tidak paham, tidak
mengamalkan dan tidak mengajarkannya.
c.
Keutamaan
penggabungan belajar dan mengajar.[4]
C.
Hadits Pendukung
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ
اللَّهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ،
فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ
مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ
اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي
أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
v Terjemah :
“Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua
orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur’an kemudian dia
membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya
mendengarkan (bacaan al-Qur’an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman
al-Qur’an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa
mengamalkan seperti (membaca al-Qur’an) seperti yang diamalkannya. Dan seorang
yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia
membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata:
“Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si
Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang
diamalkannya” (HR. Al-Bukhari).
Maksud “iri/cemburu” dalam hadits ini adalah iri yang
benar dan tidak tercela, yaitu al-gibthah, yang artinya menginginkan
nikmat yang Allah berikan kepada orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat
itu dari orang tersebut. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyebutkan dua golongan manusia yang pantas untuk
dicemburui, yaitu orang yang memahami al-Qur’an dan mengamalkannya serta orang
yang memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah.
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam juga menjelaskan sebab yang menjadikan mereka pantas untuk
dicemburui, bukan karena kelebihan dunia semata yang mereka miliki, tapi karena
mereka mampu untuk menundukkan hawa nafsu yang mencintai dunia secara
berlebihan, sehingga harta yang mereka miliki tidak menghalangi mereka untuk
meraih keutamaan tinggi di sisi Allah.[5]
[1] Syekh Mansyur
Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah SAW, (Jil. 1; Bandung
: CV Sinar Baru, 1993), hlm.165-166.
[2]
Abdul Majid
Khon, Hadis Tarbawi,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm.
161-164.
[4] Abdul Majid
Khon, Op.Cit., hlm. 109-113.
[5] Abdullah bin
Tsalim Al-Buthoni, Orang yang Pantas Dicemburui, diakses dari http://muslim.or.id/hadits/orang-yang-pantas-dicemburui.html, pada tanggal 2 Oktober 2014 pukul 10.35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar