Selasa, 11 November 2014

Hadits tentang peserta didik (Dorongan untuk menjadi ilmuwan)



A.    Hadits 1

عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَال : قَال النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَا حَسَدَ اِلَّا فِي اتْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللّهُ مَا لًا فَسُلِّط عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَخُلٌ آتَاهُ اللّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا ( أخرجه الشبحان و ابن ماجه وهذه رواية البخاري : باب الاغتباط فى العلم والحكمة )

v  Terjemah :
Dari Abdillah bin Mas’ud berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak iri (hasud) yang diperbolehkan, kecuali pada dua orang ; seseorang yang diberi kekayaan harta oleh Allah, lalu dikuasakan atas belanjakannya pada jalan kebenaran. Dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu yang bermanfaat) oleh Allah SWT, ia amalkan dan ia ajarkannya kepada orang lai. ”[1]

v  Penjelasan hadits
Hadits ini menjelaskan ada dua hasut (iri hati) yang diperbolehkan dalam islam. Pertama, harta benda seseorang yang didermakan di jalan Allah. Kedua, ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang dan kemudian diamalkan dan diajarkan. Hasut atau iri di sini diartikan ghibthah yang diperbolehkan bukan hasut syar’i yang dilarang.
Iri Ghibthah diperintahkan bagi setiap orang karena termasuk bagian dari berbalap dalam kebaikan (fastabiqul khairat), terutama bagi pelajar perlu mempunyai cita-cita yang tinggi supaya dapat memotivasi hidup dalam perjuangan mencapai cita-cita yang tinggi itu. Iri ghibthah identik dengan cita-cita atau harapan ingin menjadi orang sukses seperti orang lain yang telah sukses. cita-cia yang diinginkan konkret karena telah melihat bukti nyata di tengah-tengah masyarakat.

v  Aspek tarbawi
a.       Iri hati di sini dimaksudkan ghibthah, yaitu memiliki cita-cita kebaikan seperti yang dimiliki orang lain adalah suatu anjuran dalam agama dan bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan.
b.      Anjuran memiliki cita-cita yang tinggi bagi para pelajar agar dapat memotivasi meraihnya dengan belajar yang sungguh-sungguh.
c.       Dengki yang tercela yakni mengharapkan hancurnya nikmat orang lain adalah sebuah penyakit sosial yang berbahaya.
d.      Anjuran bersifat murah tidak bakhil terhadap harta yang telah diberikan Allah.
e.       Anjuran mempelajari ilmu yang bermanfaat diamalkan dan diajarkan.[2]

B.     Hadits 2

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَا لَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا فكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَاَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ وَ كَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى أِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَاتُمْسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي ديْنِ اللّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَ لِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ (اخرجه الشيخان واحمد وهذه رواية البخاري : كتاب العلم : باب فضل من علم وعلّم )

v  Terjemah :
Dari Abi Musa r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda : “sesungguhnya perumpamaan petunjuk (hidayah) dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah bagaikan hujan yang jatuh mengenai bumi. Diantaranya ada bumi yang subur, ia dapat menerima air kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang lebat. Diantaranya ada bumi yang tandus (tanah berbatu padas) yang dapat menahan air, lalu dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat minum, menyirami, dan bercocok tanam daripadanya. Dan (air hujan) ada yang mengenai sebagian bumi, sesungguhnya ia tanah licin tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Demikian itu, perumpamaan orang yang mengkaji agama Allah dan bermanfaat apa yang aku diutus dengannya, ia mengetahui dan mengerjakan (kepada orang lain) dan perumpamaan orang yang tidak peduli (tidak mau mengambil manfaat apa yang aku diutus dengannya), dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”[3]

v  Penjelasan hadits
Rasulullah saw membuat perumpamaan yang indah tentang ilmu dan petunjuk yang diberikan kepada manusia bagaikan hujan yang menyirami bumi. Kedua perumpamaan bumi dan manusia membutuhkan siraman, bumi perlu siraman air agar menjadi tanah yang subur dan dapat menumbuhkan tanam-tanaman yang hijau kemudian dimanfaatkan untuk manusia. Demikian halnya hati manusia perlu disiram dengan petunjuk dan ilmu, agar hatinya menjadi subur menerima petunjuk mendapatkan ketenangan, kemudian diamalkan dan diajarkan sehingga manfaatnya menjadi luas. Pada hadits di atas ada tiga karakter manusia sebagai anak didik dalam menerima ilmu atau petunjuk yang diumpamakan seperti ragam tanah  atau bumi ketika menerima siraman hujan dari langit, sebagai berikut :
a.       Bagaikan bumi subur
Dalam hadits disebutkan :
فكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَاَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ
“Diantaranya ada bumi yang subur, ia dapat menerima air kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang lebat.”
Maksudnya sebagian bumi ada yang subur dapat menerima air untuk menyuburkan tanah dirinya, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang subur. Tubuh-tumbuhan itu kemudian berkembang dan berubah yang sangat bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Sama halnya karakter sebagian anak didik yang baik ia menerima pelajaran dan paham ilmu, kemudian ilmu itu diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.
b.      Bagaikan bumi tandus dan gersang
وَ كَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا
“Dan diantaranya ada bumi yang tandus (tanah berbatu padas) yang dapat menahan air, lalu dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia, sehingga mereka dapat minum, menyirami, dan bercocok tanam daripadanya.
Maksudnya bumi tandus ini hanya dapat menampung air belaka, tetapi tidak dapat menyerap untuk menumbuhkan tanam-tanaman atau buah-buahan. Memang ia dapat memberi manfaat kepada manusia seperti untuk minum, untuk menyirami dan untuk bercocok tanam tetapi ia tidak dapat mengambil manfaat untuk dirinya.
c.       Bagaikan bumi licin mendatar
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى أِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَاتُمْسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلَأً
“Dan (air hujan) ada yang mengenai sebagian bumi, sesungguhnya ia tanah licin tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman.”
Maksudnya disini sebagian peserta didik, mereka tidak dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.

v  Aspek tarbawi
a.       Anjuran untuk menuntut ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya secara serius dan sungguh-sunguh.
b.      Karakter peserta didik dalam menerima pelajaran ilmu : pertama, paham ilmu mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, paham ilmu tidak mengamalkan tetapi tidak mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga, tidak paham, tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya.
c.       Keutamaan penggabungan belajar dan mengajar.[4]

C.    Hadits Pendukung
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

v  Terjemah :
“Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur’an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur’an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur’an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur’an) seperti yang diamalkannya. Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari).
Maksud “iri/cemburu” dalam hadits ini adalah iri yang benar dan tidak tercela, yaitu al-gibthah, yang artinya menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua golongan manusia yang pantas untuk dicemburui, yaitu orang yang memahami al-Qur’an dan mengamalkannya serta orang yang memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah.

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan sebab yang menjadikan mereka pantas untuk dicemburui, bukan karena kelebihan dunia semata yang mereka miliki, tapi karena mereka mampu untuk menundukkan hawa nafsu yang mencintai dunia secara berlebihan, sehingga harta yang mereka miliki tidak menghalangi mereka untuk meraih keutamaan tinggi di sisi Allah.[5]


[1] Syekh Mansyur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah SAW, (Jil. 1; Bandung : CV Sinar Baru, 1993), hlm.165-166.
[2] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 161-164.
[3] Syekh Mansyur Ali Nashif , Op.Cit., hlm. 163-164.
[4] Abdul Majid Khon, Op.Cit., hlm. 109-113.
[5] Abdullah bin Tsalim Al-Buthoni, Orang yang Pantas Dicemburui, diakses dari http://muslim.or.id/hadits/orang-yang-pantas-dicemburui.html, pada tanggal 2 Oktober 2014 pukul 10.35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar