A.
Hajru
1.
Pengertian
Menurut Bahasa
Berasal dari al-hajr,
hujranan atau hajara. Secara bahasa mahjur adalah al-man’u yaitu
terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang.[1]
Menurut syara’
a. Menurut Muhammad as-Syarbini al-Khatib bahwa hajru ialah al-man’u minat
tasharru faatil maaliyyati (cegahan untuk pengelolaan harta).
b. Menurut Idris Ahmad dalam bukunya fiqh al-Syafi’iyah bahwa hajru adalah
orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal
yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.
c. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa mahjur (al-Hajru) ialah melarang atau
menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah
wali atau hakim (qadhi).
Dari ta’rif di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan hajru ialah
cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu
yang mengharuskan adanya pencegahan.[2]
2. Dasar Hukum
Ø Al-Quran
Firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 282 :
فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ
هُوَفَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
Artinya : Maka jika orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. (QS.al-Baqorah : 282).
Ø Hadits
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Nabi Saw menahan harta Muadz dan
beliau jual harta itu untuk membayar utangnya”.
3. Rukun dan syarat hajru
Ø Rukun hajru :
a. Wali atau hakim baik laki-laki atau perempuan.
b. Orang yang terkena hajru yaitu orang yang dilarang membelanjakan hartanya.
Ø Syarat Hajru :
a. Orang yang berhak/ berwenang melakukan hajru/larangan hendaknya orang yang
kuat agamanya, tinggi rasa dan tinggi tingkat kecerdasannya.
b. Orang yang dilarang membelanjakan hartanya.[3]
4. Sebab-sebab Hajru
Hajru dapat dilakukan bagi orang-orang tertentu, adapun sebab-sebab
seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiri adalah sebagai berikut:
Ø Dibawah umur
Ø Bodoh
Ø Lemah rohani
dan jasmani
Ø Hamba
Ø Sedang sakit
keras
Ø Sedang
dijadikan barang dalam gadai
Ø Bersuami
bagi wanita
Ø Murtad
Ø Muflis.[4]
5. Pembagian Al-Hajru
Ditinjau dari sisi
fungsinya al-Hajru dibagi menjadi dua :
a. Al-hajru yang diterapkan untuk
kemaslahatan orang yang dicegah menggunakan hartanya seperti al-hajru pada anak
kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
b. Al-hajru yang diterapkan untuk
kemaslahatan orang lain seperti al-hajru pada orang yang pailit, orang sakit
parah, budak, murtad, dan orang yang menggadaikan.
4. Tujuan Al-Hajru
Ø Hajru dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap
:
a. Orang yang utangnya lebih banyak
daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang
berpiutang.
b. Orang yang sakit parah, dilarang
berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.
c. Orang yang merungguhkan dilarang
membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.
d. Murtad (orang yang keluar dari Islam)
dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.
Ø Hajru dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dihajru itu sendiri,
seperti :
a. Anak kecil dilarang membelanjakan
hartanya hingga beranjak dewasa dan
sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.
b. Orang gila dilarang mengelola hartanya
sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.
c. Pemboros dilarang membelanjakan hartanya
sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia
membutuhkan pembelanjaannya.[5]
5. Hikmah hajru
Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali
atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap
kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara’
untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan orang-orang
seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan agar tidak ada pihak
yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila ada anak
kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal
itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar
segala kegiatan muamalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu orang.
Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang sakit berat, tidak
dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar
orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang
yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan
merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucu harus diperhatikan.[6]
B.
Al-Shulhu (Perdamaian)
1.
Pengertian
Al-Shulh secara etimologi adalah قَطْعُ النِّزَاعِ berarti “memutuskan pertengkaran”.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) didefinisikan oleh para ulama :
a.
Idris
Ahmad dalam bukunya Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-shulh
adalah semacam akad yang dengan akad itu habislah (terputuslah) perselisihan
yang sedang terjadi.
b.
Sulaiman
Rasyid berpendapat bahwa yang dimaksud al-shulh
adalah akad perjanjian untuk menghilangkan dendam, permusuhan dan perbantahan.
c.
Sayyid
Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-shulh adalah suatu jenis
akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.
Dari
ta’rif-ta’rif di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-shulh
adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau
pertengkaran.[7]
2.
Dasar
hukum Shulhu
Perdamaian (al-shulh) disyariatkan Allah swt. Sebagaimana yang
tertuang dalam Al-Qur’an :
وَإِنْ طَاتِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنُوْنَ قْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا
بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua
golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara
keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9).
لَا خَيْرَ فِى كَثِيْرٍ مِن نَجْواهُمْ اِلَّامنْ أَمَرَبِصَدَقَةٍ
أَوْ مْرُوْفٍ اوْإِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisiskan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, dan berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian diantara manusia.” (QS. An-Nisa :
114)
عَلَيْهِمَا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Perdamaian itu lebih
baik.” (QS. An-Nisa :128)[8]
Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
الصٌّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ اِلَا صُلْحًا حَرَّمَ
حَلَالًا اوْ حَرَامًا
“Perdamaian antara
orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali melakukan perjanjian mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram.”[9]
3.
Rukun
dan Syarat Shulhu
·
Rukun-rukun
shulhu adalah sebagai berikut :
a.
Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akibat perdamaian untuk
menghilangkan akibat perdamaian untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
b.
Mushalih
‘anhu yaitu persoalan yang
diperselisihkan atau dipersengketakan.
c.
Mushalih ‘alaih ialah hal-hal yang diperselisihkan oleh salah satu pihak
terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan.
·
Syarat-syarat
mushalih bih adalah sebagai berikut :
a.
Mushalih
bih adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan
dan berguna.
b.
Mushalih
bih dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak ada kesamaran yang
dapat menimbulkan perselisihan.[11]
·
Syarat-syarat
shulhu :
a.
Berakal
sehat : tidak sah perdamaian dilakukan oleh orang gila atau anak-anak yang
belum berakal.
b.
Pihak-pihak
yang melakukan shulhu tidak boleh masih berusia belum dewasa.
c.
Pelaksanaan
shulh dalam lapangan yang berkaitan dengan kehartabendaan pada anak-anak yang
masih kecil mestilah dilakukan oleh walinya.
d.
Salah
satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad.[12]
4.
Macam-macam
Shulhu
a.
Perdamaian
antara muslimin dengan kafir , yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan
senjata dalam masa tertentu secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang
diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b.
Perdamaian
antara kepala negara dengan pemberontak , yakni membuat perjanjian-perjanjian
atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c.
Perdamaian
antara suami istri, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pemberian
nafkah, masalah durhaka , serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada
suaminya manakala terjadi perselisihan.
d.
Perdamaian
dalam mu’amalat, yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya
dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah mu’amalat.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al-Shulh (perdamaian) dibagi
menjadi tiga macam, yaitu :
Ø Perdamaian tentang iqrar
Ø Perdamaian tentang inkar
Ø Perdamaian tentang sukut.[13]
5.
Hikmah
shulh
Ø Dapat menyelesaikan perselisihan dengan sebaik-baiknya. Bila mungkin tanpa
campur tangan pihak lain.
Ø Dapat meningkatkan rasa ukhuwah / persaudaraan sesama manusia.
Ø Dapat menghilangkan rasa dendam, angkara murka dan perselisihan diantara
sesama.
Ø Menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia untuk mewujudkan keadilan.[14]
[1] Hendi
Suhaendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm 221.
[3]
http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/hajru-atau-larangan.html,
diakses 30 Oktober 2014 pukul 15:30
[6] http://alhushein.blogspot.com/2012/03/al-hajr-pengamunan.html, diakses 30
Oktober 2014 pukul 14:45.
[7] Hendi
Suhaendi, Op.cit., hlm. 170.
[8] Sohari Sahrani
& Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hlm. 230.
[9] Helmi Karim, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 50.
[10] Hendi
Suhaendi, Op.Cit., hlm.172.
[11] Sohari Sahrani
& Ruf’ah Abdullah, Loc.Cit., hlm 231.
[12] Helmi Karim, Op.Cit.,
hlm.57-58.
[13] Hendi
Suhaendi, Op.Cit., hlm. 174.
[14] https://azizwd.wordpress.com/2010/05/31/wakalah-dan-shulhu/, diakses 30
Oktober 2014 pukul 14:55.
keren bangget makasih ibu
BalasHapus