Selasa, 11 November 2014

Hajru dan Shulhu



A.    Hajru
1.      Pengertian
Menurut Bahasa
Berasal dari al-hajr, hujranan atau hajara. Secara bahasa mahjur adalah al-man’u yaitu terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang.[1]
Menurut syara’
a. Menurut Muhammad as-Syarbini al-Khatib bahwa hajru ialah al-man’u minat tasharru faatil maaliyyati (cegahan untuk pengelolaan harta).
b. Menurut Idris Ahmad dalam bukunya fiqh al-Syafi’iyah bahwa hajru adalah orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.
c. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa mahjur (al-Hajru) ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim (qadhi).
Dari ta’rif di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan hajru ialah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.[2]
2.      Dasar Hukum
Ø Al-Quran
Firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 282 :
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَفَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
Artinya : Maka jika  orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. (QS.al-Baqorah : 282).
Ø  Hadits
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Nabi Saw menahan harta Muadz dan beliau jual harta itu untuk membayar utangnya”.
3.      Rukun dan syarat hajru
Ø  Rukun hajru :
a.       Wali atau hakim baik laki-laki atau perempuan.
b.      Orang yang terkena hajru yaitu orang yang dilarang membelanjakan hartanya.
Ø  Syarat Hajru :
a.       Orang yang berhak/ berwenang melakukan hajru/larangan hendaknya orang yang kuat agamanya, tinggi rasa dan tinggi tingkat kecerdasannya.
b.      Orang yang dilarang membelanjakan hartanya.[3]
4.      Sebab-sebab Hajru
Hajru dapat dilakukan bagi orang-orang tertentu, adapun sebab-sebab seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiri adalah sebagai berikut:
Ø  Dibawah umur
Ø  Bodoh
Ø  Lemah rohani dan jasmani
Ø  Hamba
Ø  Sedang sakit keras
Ø  Sedang dijadikan barang dalam gadai
Ø  Bersuami bagi wanita
Ø  Murtad
Ø  Muflis.[4]
5.      Pembagian Al-Hajru
Ditinjau dari sisi fungsinya al-Hajru dibagi menjadi dua :
a.  Al-hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang yang dicegah menggunakan hartanya seperti al-hajru pada anak kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
b.   Al-hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang lain seperti al-hajru pada orang yang pailit, orang sakit parah, budak, murtad, dan orang yang menggadaikan.
4. Tujuan Al-Hajru
Ø Hajru dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap :
a.  Orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.
b.   Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.
c.  Orang yang merungguhkan dilarang membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.
d.  Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.
Ø  Hajru dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dihajru itu sendiri, seperti :
a.  Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan  sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.
b.  Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.
c.  Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.[5]
5.  Hikmah hajru
Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan muamalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu orang. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucu harus diperhatikan.[6]

B.     Al-Shulhu (Perdamaian)
 
1.      Pengertian
Al-Shulh secara etimologi adalah قَطْعُ النِّزَاعِ berarti “memutuskan pertengkaran”. Sedangkan menurut istilah (terminologi) didefinisikan oleh para ulama :
a.       Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-shulh adalah semacam akad yang dengan akad itu habislah (terputuslah) perselisihan yang sedang terjadi.
b.      Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang dimaksud  al-shulh adalah akad perjanjian untuk menghilangkan dendam, permusuhan dan perbantahan.
c.       Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-shulh adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.
Dari ta’rif-ta’rif di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-shulh adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau pertengkaran.[7]
2.      Dasar hukum Shulhu
Perdamaian (al-shulh) disyariatkan Allah swt. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an :
وَإِنْ طَاتِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنُوْنَ قْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9).

لَا خَيْرَ فِى كَثِيْرٍ مِن نَجْواهُمْ اِلَّامنْ أَمَرَبِصَدَقَةٍ أَوْ مْرُوْفٍ اوْإِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisiskan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, dan berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (QS. An-Nisa : 114)
عَلَيْهِمَا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa :128)[8]
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
الصٌّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ اِلَا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا اوْ حَرَامًا
“Perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali melakukan perjanjian mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”[9]
3.      Rukun dan Syarat Shulhu
·         Rukun-rukun shulhu adalah sebagai berikut :
a.       Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akibat perdamaian untuk menghilangkan akibat perdamaian untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
b.      Mushalih ‘anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan atau dipersengketakan.
c.       Mushalih ‘alaih ialah hal-hal yang diperselisihkan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan.
d.      Sighat ijab dan kabul diantara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.[10]
·         Syarat-syarat mushalih bih adalah sebagai berikut :
a.       Mushalih bih adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan dan berguna.
b.      Mushalih bih dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.[11]
·         Syarat-syarat shulhu :
a.       Berakal sehat : tidak sah perdamaian dilakukan oleh orang gila atau anak-anak yang belum berakal.
b.      Pihak-pihak yang melakukan shulhu tidak boleh masih berusia belum dewasa.
c.      Pelaksanaan shulh dalam lapangan yang berkaitan dengan kehartabendaan pada anak-anak yang masih kecil mestilah dilakukan oleh walinya.
d.     Salah satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad.[12]
4.      Macam-macam Shulhu
a.       Perdamaian antara muslimin dengan kafir , yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b.      Perdamaian antara kepala negara dengan pemberontak , yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c.       Perdamaian antara suami istri, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pemberian nafkah, masalah durhaka , serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d.      Perdamaian dalam mu’amalat, yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah mu’amalat.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al-Shulh (perdamaian) dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
Ø  Perdamaian tentang iqrar
Ø  Perdamaian tentang inkar
Ø  Perdamaian tentang sukut.[13]
5.      Hikmah shulh
Ø  Dapat menyelesaikan perselisihan dengan sebaik-baiknya. Bila mungkin tanpa campur tangan pihak lain.
Ø  Dapat meningkatkan rasa ukhuwah / persaudaraan sesama  manusia.
Ø  Dapat menghilangkan rasa dendam, angkara murka dan perselisihan diantara sesama.
Ø  Menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia untuk mewujudkan keadilan.[14]







[1] Hendi Suhaendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm 221.
[2] http://ahsanitaqwimal-hajr.blogspot.com/, diakses 30 Oktober 2014 pukul 14:20.

[5] http://ahsanitaqwimal-hajr.blogspot.com/, diakses 30 Oktober 2014 pukul 14:20.
[7] Hendi Suhaendi, Op.cit., hlm. 170.
[8] Sohari Sahrani & Ruf’ah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 230.
[9] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 50.
[10] Hendi Suhaendi, Op.Cit., hlm.172.
[11] Sohari Sahrani & Ruf’ah Abdullah, Loc.Cit., hlm 231.
[12] Helmi Karim, Op.Cit., hlm.57-58.
[13] Hendi Suhaendi, Op.Cit., hlm. 174.

1 komentar: